Tuesday, October 23, 2012

Candi Sukuh.....candi seksualitas yang bentuknya tak lazim

Perjalananku kali ini adalah menuju kabupaten Karanganyar.......salah satu tujuanku adalah mengunjungi Candi Sukuh. Perjalanan menuju Candi Sukuh lumayan ekstrem dengan perpaduan tanjakan dan tikungan yang sempat beberapa kali memacu adrenalin. Jarak dari kota Solo sekitar 36 km.
Candi Sukuh terletak di atas ketinggian 1.186 meter dpal di desa Berjo Ngargoyoso Karanganyar. Candi ini merupakan candi Hindu dengan bentuk yang unik dan tak lazim serta banyak ditemukan lingga dan yoni sebagai lambang seksualitas di dalam kompleks.
Bentuk bangunan candi Sukuh cenderung mirip dengan peninggalan budaya Maya di Meksiko atau peninggalan budaya Inca di Peru. Struktur ini juga mengingatkan para pengunjung akan bentuk-bentuk piramida di Mesir.
Memasuki pintu utama lalu memasuki gapura terbesar akan melihat bentuk arsitektur khas bahwa ini tidak disusun tegak lurus namun agak miring, berbentuk trapesium dengan atap di atasnya.
Pada teras pertama terdapat gapura utama. Pada gapura ini ada sebuah sangkala dalam bahasa Jawa yang berbunyi gapura buta abara wong. Artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Gapura sang raksasa memangsa manusia”. Kata-kata ini memiliki makna 9, 5, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1359 Saka atau tahun 1437 Masehi.
Gapura pada teras kedua sudah rusak. Di kanan dan kiri gapura yang biasanya terdapat patung penjaga pintu atau dwarapala, didapati pula, namun dalam keadaan rusak dan sudah tidak jelas bentuknya lagi. Gapura sudah tidak beratap dan pada teras ini tidak dijumpai banyak patung-patung. Namun pada gapura ini terdapat sebuah candrasangkala pula dalam bahasa Jawa yang berbunyi gajah wiku anahut buntut. Artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Gajah pendeta menggigit ekor”. Kata-kata ini memiliki makna 8, 7, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1378 Saka atau tahun 1456 Masehi. Jadi jika bilangan ini benar, maka ada selisih hampir duapuluh tahun dengan gapura di teras pertama!
Pada teras ketiga ini terdapat pelataran besar dengan candi induk dan beberapa relief di sebelah kiri serta patung-patung di sebelah kanan. Jika para pengunjung ingin mendatangi candi induk yang suci ini, maka batuan berundak yang relatif lebih tinggi daripada batu berundak sebelumnya harus dilalui. Selain itu lorongnya juga sempit. Konon arsitektur ini sengaja dibuat demikian. Sebab candi induk yang mirip dengan bentuk vagina ini, menurut beberapa pakar memang dibuat untuk mengetes keperawanan para gadis. Menurut cerita, jika seorang gadis yang masih perawan mendakinya, maka selaput daranya akan robek dan berdarah. Namun apabila ia tidak perawan lagi, maka ketika melangkahi batu undak ini, kain yang dipakainya akan robek dan terlepas.
Tepat di atas candi utama di bagian tengah terdapat sebuah bujur sangkar yang kelihatannya merupakan tempat menaruh sesajian. Di sini terdapat bekas-bekas kemenyan, dupa dan hio yang dibakar, sehingga terlihat masing sering dipergunakan untuk bersembahyang.
Kemudian pada bagian kiri candi induk terdapat serangkaian relief-relief yang merupakan mitologi utama Candi Sukuh dan telah diidentifikasi sebagai relief cerita Kidung Sudamala. Urutan reliefnya adalah sebagai berikut.

Relief pertama

Di bagian kiri dilukiskan sang Sahadewa atau Sadewa, saudara kembar Nakula dan merupakan yang termuda dari para Pandawa Lima. Kedua-duanya adalah putra Prabu Pandu dari Dewi Madrim, istrinya yang kedua. Madrim meninggal dunia ketika Nakula dan Sadewa masih kecil dan keduanya diasuh oleh Dewi Kunti, istri utama Pandu. Dewi Kunti lalu mengasuh mereka bersama ketiga anaknya dari Pandu: Yudhistira, Bima dan Arjuna. Relief ini menggambarkan Sadewa yang sedang berjongkok dan diikuti oleh seorang punakawan atau pengiring. Berhadapan dengan Sadewa terlihatlah seorang tokoh wanita yaitu Dewi Durga yang juga disertai seorang punakawan.

Relief kedua

Pada relief kedua ini dipahat gambar Dewi Durga yang telah berubah menjadi seorang raksasi (raksasa wanita) yang berwajah mengerikan. Dua orang raksasa mengerikan; Kalantaka dan Kalañjaya menyertai Batari Durga yang sedang murka dan mengancam akan membunuh Sadewa. Kalantaka dan Kalañjaya adalah jelmaan bidadara yang dikutuk karena tidak menghormati Dewa sehingga harus terlahir sebagai raksasa berwajah buruk. Sadewa terikat pada sebuah pohon dan diancam dibunuh dengan pedang karena tidak mau membebaskan Durga. Di belakangnya terlihat antara lain ada Semar. Terlihat wujud hantu yang melayang-layang dan di atas pohon sebelah kanan ada dua ekor burung hantu. Lukisan mengerikan ini kelihatannya ini merupakan lukisan di hutan Setra Gandamayu (Gandamayit) tempat pembuangan para dewa yang diusir dari sorga karena pelanggaran.

Relief ketiga

Pada bagian ini digambarkan bagaimana Sadewa bersama punakawannya, Semar berhadapan dengan pertapa buta bernama Tambrapetra dan putrinya Ni Padapa di pertapaan Prangalas. Sadewa akan menyembuhkannya dari kebutaannya.

Relief keempat

Adegan di sebuah taman indah di mana sang Sadewa sedang bercengkerama dengan Tambrapetra dan putrinya Ni Padapa serta seorang punakawan di pertapaan Prangalas. Tambrapetra berterima kasih dan memberikan putrinya kepada Sadewa untuk dinikahinya.

Relief kelima

Lukisan ini merupakan adegan adu kekuatan antara Bima dan kedua raksasa Kalantaka dan Kalañjaya. Bima dengan kekuatannya yang luar biasa sedang mengangkat kedua raksasa tersebut untuk dibunuh dengan kuku pañcanakanya.


Lalu pada bagian kanan terdapat dua buah patung Garuda yang merupakan bagian dari cerita pencarian tirta amerta (air kehidupan) yang terdapat dalam kitab Adiparwa, kitab pertama Mahabharata. Pada bagian ekor sang Garuda terdapat sebuah prasasti.
Kemudian sebagai bagian dari kisah pencarian amerta tersebut di bagian ini terdapat pula tiga patung kura-kura yang melambangkan bumi dan penjelmaan Dewa Wisnu. Bentuk kura-kura ini menyerupai meja dan ada kemungkinan memang didesain sebagai tempat menaruh sesajian. Sebuah piramida yang puncaknya terpotong melambangkan Gunung Mandaragiri yang diambil puncaknya untuk mengaduk-aduk lautan mencari tirta amerta.

Dari atas pelataran candi kita dapat melihat pemandangan alam sekitar yang sangat indah.






Friday, October 19, 2012

Menapaki terjalnya bukit Ungaran di Candi Gedong Songo

Candi Gedong Songo............terletak di Ungaran sekitar 3 jam perjalanan dari Jogja. Pesona eksotika candi Gedong Songo berbeda dari candi-candi yang lain, karena ketika mengunjunginya kita akan merasakan perpaduan sensasi mendaki bukit terjal (bisa berjalan kaki atau menunggang kuda), menyaksikan kabut turun dan membalut candi serta tentu saja mengagumi peninggalan sejarah masa lalu yang berupa bangunan candi.
Dilihat dari namanya Candi Gedong Songo tentulah candi yang berjumlah sembilan, namun sayang 3 di antara nya masih berupa reruntuhan yang belum direstorasi.
Pilihanku kali ini mendaki bukit dengan menunggang kuda.
Duduk di pelana kuda membawaku seolah menjadi Mantili atau Lasmini dalam episode Brama Kumbara sebuah drama radio yang sangat populer ketika aku masih kecil.














Akhirnya Berjumpa "Sleeping Buddha" Terbesar di Indonesia

Selama ini orang hanya mengenal Thailand saja yang memiliki patung Budha Tidur terbesar. Ternyata Indonesia juga punya, tepatnya berada di Vihara Budha Mojopahit Trowulan Mojokerto Jawa Timur.
Menemukan Vihara ini tidaklah sulit. Ada papan petunjuk di pinggir jalan utama menuju Surabaya.
Vihara ini terletak tengah desa yang asri. Memasuki kompleks Vihara suasana cukup sepi sore itu. Dari arah depan tak tampak keberadaan patung Budha itu. Saya harus berjalan masuk kemudian berbelok ke arah kiri. Ketika beberapa langkah setelah berbelok ke kiri, untuk beberapa saat aku terkesima oleh pemandangan patung Budha Tidur Raksasa berwarna kuning keemasan di kejauhan. Dada ini berdegup kencang, entah mengapa. Serasa berada di Thailand saat itu.






Menelusuri Jejak Kejayaan Majapahit di Trowulan

Setiap melintas jalan ke arah Surabaya selalu saja aku ingin singgah di sebuah kota kecil bernama Trowulan. Lama keinginan itu terpendam sampai hari itu aku benar-benar membulatkan tekad untuk khusus mengunjungi kota itu.
Trowulan adalah sebuah kota kecil di Kabupaten Mojokerto, disitulah aku mendengar banyak tersebar situs dan peninggalan Kerajaan Majapahit yang amat tersohor di jamannya. Peradaban Majapahit bukanlah sebuah legenda, sosoknya ditopang oleh bukti-bukti otentik arkeologis yang tertinggal dari jamannya. Sudah lebih dari 700 tahun peradaban Majapahit berlalu, namun kebesarannya bukanlah sekedar memori belaka.
Setelah menempuh 10 jam perjalanan dari kota Jogja sampailah aku di kota kecil itu. Dijemput dan ditemani seorang kawan dari Surabaya aku memulai penjelajahan kota lama itu.
Bangunan pertama yang aku datangi adalah Candi/Gapura Bajang Ratu, yang terletak di desa Temon Kecamatan Trowulan. Melihat bangunannya gapura ini merupakan gapura yang memiliki atap dengan bahan utamanya adalah batu bata, kecuali lantai tangga serta ambang pintu yang terbuat dari batu andesit. Bangunan ini berbentuk segi empat berukuran 11,5x10,5 meter dengan tinggi 16,5 meter dan lebar lorong pintu masuk 1,40 meter. Secara vertikal dibagi menjadi tiga yaitu kaki, tubuh dan atap.
Pada kaki gapura terdapat hiasan panil yang menggambarkan cerita "Sri Tanjung", di bagian atas tubuh terdapat pintu yang di atasnya terdapat hiasan kala dengan sulur-suluran, sedangkan atapnya berbentuk bertingkat-tingkat dengan puncaknya persegi.



Selesai mengagumi kemegahan Gapura Bajang Ratu, kami melanjutkan perjalanan menuju Candi Tikus. Dalam perjalanan menuju Candi Tikus, kami melintas di kolam Segaran yang merupakan waduk atau kolam kuno Majapahit.
Bangunan kedua yang aku sambangi adalah Candi Tikus. Masih terletak satu desa dengan Gapura Bajang Ratu namun letaknya kurang lebih 500 meter dari Gapura Bajang Ratu. Melihat keberadaan bangunannya yang berada di bawah tanah teringat olehku Candi Sambisari di dekat rumahku.
Candi Tikus ini merupakan bangunan petirtaan yang terlihat dari adanya miniatur candi di tengah bangunannya yang melambangkan Gunung Mahameru tempat bersemayamnya para dewa dan sumber segala kehidupan yang diwujudkan dalam bentuk air mengalir dari pancuran-pancuran / jaladwara yang terdapat di sepanjang kaki candi. Air ini dianggap sebagai air suci Amarta, sumber segala kehidupan.




Bangunan ketiga yang kami datangi adalah Candi Brahu. Letaknya cukup jauh dari Gapura Bajang Ratu dan Candi Tikus. Kami harus menyeberang jalan. Candi Brahu terletak di desa Bejijong Trowulan. Diduga bangunan candi ini merupakan peninggalan Buddhist dan berumur lebih tua daripada candi-candi yang lain.


Bangunan terakhir yang kami kunjungi adalah Kompleks Gapura Wringin Lawang. Terletak di desa Jatipasar disebut juga Gapura Jati Pasar. Terbuat dari bata dan berbentuk candi bentar yakni candi yang terbelah dua.