Perjalananku kali ini adalah menuju kabupaten Karanganyar.......salah satu tujuanku adalah mengunjungi Candi Sukuh. Perjalanan menuju Candi Sukuh lumayan ekstrem dengan perpaduan tanjakan dan tikungan yang sempat beberapa kali memacu adrenalin. Jarak dari kota Solo sekitar 36 km.
Candi Sukuh terletak di atas ketinggian 1.186 meter dpal di desa Berjo Ngargoyoso Karanganyar. Candi ini merupakan candi Hindu dengan bentuk yang unik dan tak lazim serta banyak ditemukan lingga dan yoni sebagai lambang seksualitas di dalam kompleks.
Bentuk bangunan candi Sukuh cenderung mirip dengan peninggalan budaya Maya di Meksiko atau peninggalan budaya Inca di Peru. Struktur ini juga mengingatkan para pengunjung akan bentuk-bentuk piramida di Mesir.
Memasuki pintu utama lalu memasuki gapura terbesar akan melihat bentuk
arsitektur khas bahwa ini tidak disusun tegak lurus namun agak miring,
berbentuk trapesium dengan atap di atasnya.
Pada teras pertama terdapat gapura utama. Pada gapura ini ada sebuah sangkala dalam bahasa Jawa yang berbunyi gapura buta abara wong. Artinya dalam bahasa Indonesia
adalah “Gapura sang raksasa memangsa manusia”. Kata-kata ini memiliki
makna 9, 5, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1359 Saka atau
tahun 1437 Masehi.
Gapura pada teras kedua sudah rusak. Di kanan dan kiri gapura yang
biasanya terdapat patung penjaga pintu atau dwarapala, didapati pula,
namun dalam keadaan rusak dan sudah tidak jelas bentuknya lagi. Gapura
sudah tidak beratap dan pada teras ini tidak dijumpai banyak
patung-patung. Namun pada gapura ini terdapat sebuah candrasangkala pula dalam bahasa Jawa yang berbunyi gajah wiku anahut buntut.
Artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Gajah pendeta menggigit ekor”.
Kata-kata ini memiliki makna 8, 7, 3, dan 1. Jika dibalik maka
didapatkan tahun 1378 Saka atau tahun 1456 Masehi. Jadi jika bilangan ini benar, maka ada selisih hampir duapuluh tahun dengan gapura di teras pertama!
Pada teras ketiga ini terdapat pelataran besar dengan candi induk dan
beberapa relief di sebelah kiri serta patung-patung di sebelah kanan.
Jika para pengunjung ingin mendatangi candi induk yang suci ini, maka
batuan berundak yang relatif lebih tinggi daripada batu berundak
sebelumnya harus dilalui. Selain itu lorongnya juga sempit. Konon
arsitektur ini sengaja dibuat demikian. Sebab candi induk yang mirip
dengan bentuk vagina
ini, menurut beberapa pakar memang dibuat untuk mengetes keperawanan
para gadis. Menurut cerita, jika seorang gadis yang masih perawan
mendakinya, maka selaput daranya akan robek dan berdarah. Namun apabila
ia tidak perawan lagi, maka ketika melangkahi batu undak ini, kain yang
dipakainya akan robek dan terlepas.
Tepat di atas candi utama di bagian tengah terdapat sebuah bujur
sangkar yang kelihatannya merupakan tempat menaruh sesajian. Di sini
terdapat bekas-bekas kemenyan, dupa dan hio yang dibakar, sehingga terlihat masing sering dipergunakan untuk bersembahyang.
Kemudian pada bagian kiri candi induk terdapat serangkaian
relief-relief yang merupakan mitologi utama Candi Sukuh dan telah
diidentifikasi sebagai relief cerita Kidung Sudamala. Urutan reliefnya adalah sebagai berikut.
Relief pertama
Di bagian kiri dilukiskan sang Sahadewa atau Sadewa, saudara kembar Nakula dan merupakan yang termuda dari para Pandawa Lima.
Kedua-duanya adalah putra Prabu Pandu dari Dewi Madrim, istrinya yang
kedua. Madrim meninggal dunia ketika Nakula dan Sadewa masih kecil dan
keduanya diasuh oleh Dewi Kunti, istri utama Pandu. Dewi Kunti lalu
mengasuh mereka bersama ketiga anaknya dari Pandu: Yudhistira, Bima dan Arjuna. Relief ini menggambarkan Sadewa yang sedang berjongkok dan diikuti oleh seorang punakawan
atau pengiring. Berhadapan dengan Sadewa terlihatlah seorang tokoh
wanita yaitu Dewi Durga yang juga disertai seorang punakawan.
Relief kedua
Pada relief kedua ini dipahat gambar Dewi Durga yang telah berubah
menjadi seorang raksasi (raksasa wanita) yang berwajah mengerikan. Dua
orang raksasa mengerikan; Kalantaka dan Kalañjaya menyertai Batari Durga
yang sedang murka dan mengancam akan membunuh Sadewa. Kalantaka dan
Kalañjaya adalah jelmaan bidadara yang dikutuk karena tidak menghormati
Dewa sehingga harus terlahir sebagai raksasa berwajah buruk. Sadewa
terikat pada sebuah pohon dan diancam dibunuh dengan pedang karena tidak
mau membebaskan Durga. Di belakangnya terlihat antara lain ada Semar.
Terlihat wujud hantu yang melayang-layang dan di atas pohon sebelah
kanan ada dua ekor burung hantu.
Lukisan mengerikan ini kelihatannya ini merupakan lukisan di hutan
Setra Gandamayu (Gandamayit) tempat pembuangan para dewa yang diusir
dari sorga karena pelanggaran.
Relief ketiga
Pada bagian ini digambarkan bagaimana Sadewa bersama punakawannya, Semar
berhadapan dengan pertapa buta bernama Tambrapetra dan putrinya Ni
Padapa di pertapaan Prangalas. Sadewa akan menyembuhkannya dari
kebutaannya.
Relief keempat
Adegan di sebuah taman indah di mana sang Sadewa sedang bercengkerama
dengan Tambrapetra dan putrinya Ni Padapa serta seorang punakawan di
pertapaan Prangalas. Tambrapetra berterima kasih dan memberikan putrinya
kepada Sadewa untuk dinikahinya.
Relief kelima
Lukisan ini merupakan adegan adu kekuatan antara Bima dan kedua
raksasa Kalantaka dan Kalañjaya. Bima dengan kekuatannya yang luar biasa
sedang mengangkat kedua raksasa tersebut untuk dibunuh dengan kuku
pañcanakanya.
Lalu pada bagian kanan terdapat dua buah patung Garuda yang merupakan bagian dari cerita pencarian tirta amerta (air kehidupan) yang terdapat dalam kitab Adiparwa, kitab pertama Mahabharata. Pada bagian ekor sang Garuda terdapat sebuah prasasti.
Kemudian sebagai bagian dari kisah pencarian amerta tersebut di
bagian ini terdapat pula tiga patung kura-kura yang melambangkan bumi
dan penjelmaan Dewa Wisnu.
Bentuk kura-kura ini menyerupai meja dan ada kemungkinan memang
didesain sebagai tempat menaruh sesajian. Sebuah piramida yang puncaknya
terpotong melambangkan Gunung Mandaragiri yang diambil puncaknya untuk
mengaduk-aduk lautan mencari tirta amerta.
Dari atas pelataran candi kita dapat melihat pemandangan alam sekitar yang sangat indah.